Minggu, 15 November 2009

Contoh Artikel

PERBEDAAN MAKNA NOVEL DAN FILM AYAT AYAT CINTA: KAJIAN EKRANISASI

Karkono
Universitas Negeri Malang

Abstract

Adaptation process from novel to film called ecranization. The differences often show up in the process of ecranization all this time is more regularly because of the difference of art system (in this case novel) and the film system. Technical things as media of novel which consist of words and language, meanwhile film main media is audio visual (sound and picture) becomes a common thing if between novel and film become different. In the case of AAC's novel and film, the difference is not only because of that technical problem, but this is an intentional difference. From this research can be concluded that difference among AAC's novel and film is not one bounds because art system difference and film system, but intentional difference by film production team for the specific purposes. From enrichment and based on fact that revealing, researcher concludes that AAC's film more emphasizes on polygamy problem, this appears on many added scenes in film that feature polygamy life that is not tell in the novel, while AAC'S novel more consist of the struggle of an Indonesian college student that study at Egypt therewith his love story.

Keywords: ecranization, novel and film, Ayat Ayat Cinta, Polygamy

1. Pengantar
Pada waktu dimuat secara bersambung di harian Republika pada tahun 2002-2003, banyak yang belum mengetahui cerita Ayat Ayat Cinta. Namun, setelah pada tahun 2004 dibukukan dalam bentuk novel dan diterbitkan oleh Penerbit Republika Jakarta dan Pesantren Karya Basmala Semarang, Ayat Ayat Cinta seketika menjadi perbincangan banyak kalangan. Novel bertema cinta yang dibungkus nuansa religi ini ditulis oleh seorang sarjana Al Azhar University Cairo yang bernama Habiburrahman El Shirazy. Kesuksesan novel Ayat Ayat Cinta ternyata menarik minat para produser film untuk memfilmkannya. Pada pertengahan tahun 2006, proses pembuatan film Ayat Ayat Cinta pun dimulai. Productions House (PH) yang memproduksi film ini adalah MD Pictures Jakarta. Film ini disutradarai Hanung Bramantyo, sementara naskah skenarionya ditulis oleh Salman Aristo dan Ginatri S. Noor.
Pada dasarnya, adaptasi dari satu media tertentu ke dalam bentuk lain dalam menciptakan karya sudah sering dilakukan oleh para seniman. Dalam sejarah perfilman  dunia-khususnya Hollywood-sembilan puluh persen karya skenario film dan televisi berasal dari proses pengadaptasian. Sebut saja, film Harry Potter yang merupakan adaptasi dari novel karya J.K. Rowling yang berjudul Harry Potter, film The Lord of the Rings yang diadaptasi dari novel The Lord of the Rings karya Tolkien tahun 1954, film Doctor Zhivago adaptasi dari novel karya Boris Pasternak yang berjudul Doctor Zhivago, Malcom X (autobiografi), dan masih banyak lagi (Firman Hadiyansyah, 2006: 1).
Proses adaptasi dari novel ke bentuk film dalam Eneste (1991: 60) disebut ekranisasi.1 Di Indonesia, ekranisasi memang bukan hal baru2. Selanjutnya, kendati bisa dikatakan tidak terlalu sering, tetapi proses adaptasi ini terus saja dilakukan, tidak saja dari drama ke dalam film (layar lebar) tetapi juga dari novel ke dalam bentuk film dan sinetron (layar kaca). Beberapa di antaranya adalah film Darah dan Mahkota Ronggeng karya Ami Priyono yang diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, film Jangan Ambil Nyawaku yang diangkat dari novel karya Titi Said, film Roro Mendut karya Ami Priyono yang diangkat dari novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, film Atheis karya Sjumandjaja yang diangkat berdasarkan novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja, Si Doel Anak Betawi karya Sjumandjaja yang diangkat dari novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt. Madjoindo, film Salah Asuhan karya Asrul Sani yang diangkat berdasarkan novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, film Ca Bau Kan karya Nia Dinata yang diangkat dari novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado. Bahkan Novel Badai Pasti Berlalu karya Marga T sudah dua kali difilmkan dan yang terakhir disutradarai oleh Teddy Suriatmadja.
Meskipun demikian, bisa dikatakan gaung dari fenomena adaptasi ini bisa dikatakan baru akhir-akhir ini saja mulai menggema ke berbagai kalangan masyarakat, yaitu dengan difilmkannya novel Ayat Ayat Cinta. Film Ayat Ayat Cinta adalah salah satu fenomena ekranisasi yang banyak menyedot perhatian masyarakat luas segala kalangan dan usia. Media massa-baik cetak maupun elektronik-mencatat film Aya Ayat Cinta memecahkan rekor sebagai film yang banyak ditonton orang di bioskop, mengungguli film Ada Apa dengan Cinta pada tahun 2002 yang juga menggebrak dunia perfilman di Indonesia dan menandai bangkitnya film nasional setelah sekian lama mati suri.
Perbedaan yang sering muncul dalam proses ekranisasi selama ini lebih sering disebabkan oleh perbedaan sistem sastra (dalam hal ini novel) dan sistem film. Hal-hal teknis seperti media novel yang berupa kata-kata dan bahasa sementara media utama film adalah audio visual (suara dan gambar) memang menjadi kewajaran jika antara novel dan film menjadi berbeda. Dalam kasus novel dan film Ayat Ayat Cinta (selanjutnya disingkat AAC), perbedaan yang ada bukan sebatas karena masalah teknis tersebut, tetapi adalah perbedaan yang disengaja dengan tujuan tertentu. Misalnya saja adalah poligami yang dilakukan oleh Fahri (tokoh utama dalam novel dan film AAC). Secara sekilas, siapa pun yang telah membaca novel AAC dan kemudian menyaksikan filmnya, akan menemukan perbedaan yang sangat mencolok di akhir cerita. Di novel, poligami yang dilakukan Fahri seolah tanpa penyelesaian yang mendalam karena Maria (wanita yang dinikahi Fahri setelah sebelumnya menikahi Aisha) meninggal dunia, sehingga persoalan poligami hanya mencuat sesaat dan semacam tempelan semata. Namun, di film tidak demikian, Maria tidak buru-buru dimatikan dan muncul banyak adegan baru yang mengekspos kehidupan rumah tangga Fahri, Aisha, dan Maria. Selain itu, penyebab poligami yang ada di novel dengan yang ada di film juga dapat dikatakan berbeda. Begitu juga dalam hal latar sosial budaya. Di dalam novel, diceritakan Fahri adalah mahasiswa Universitas Al Azhar asal Indonesia yang masih kukuh memegang tradisi ketimurannya dan sering menceritakan keluarganya yang ada di Indonesia (dalam hal ini suku Jawa). Namun, di dalam film, gambaran kondisi sosial budaya Jawa yang merupakan asal usul Fahri sangat sedikit ditampilkan.
Dari kenyataan tersebut, antara novel dan film AAC banyak perbedaan yang disebabkan oleh proses resepsi terhadap novel AAC oleh tim produksi film (penulis skenario, sutradara, ataupun produser). Ini adalah sebuah permasalahan yang sering menjadi pertanyaan di benak para pembaca novel AAC dan juga penonton film AAC. Untuk itu, penelitian secara ilmiah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sangat penting. Bahwa ketika sebuah novel ditransformasikan ke bentuk film akan mengalami perubahan adalah sebuah kewajaran. Perubahan yang dimaksud diakibatkan oleh perbedaan sistem sastra dengan sistem film. Namun, menganalisis lebih mendalam tentang perbedaan-perbedaan yang ada yang ternyata bukan semata disebabkan oleh perbedaan sistem sastra dan sistem film dan selanjutnya menemukan makna akibat perubahan itu adalah sebuah tindakan yang penting untuk dilakukan.
Proses ekranisasi Novel AAC karya Habiburrahman El Shirazy (selanjutnya disingkat HES) selain cukup fenomenal juga menimbulkan beragam pertanyaan yang perlu untuk dicari pemecahannnya. Beragam pertanyaan yang timbul berkaitan dengan proses ekranisai novel AAC ini di antaranya; mengapa film AAC begitu banyak menyita perhatian publik dan mencatat jumlah pencapaian penonton di bioskop yang cukup banyak? Kemudian apa saja perbedaan-perbedaan yang ada antara novel dengan filmnya sehingga menimbulkan beragam pendapat: ada yang memuji, tidak sedikit juga yang mencaci. Selain itu, hal-hal apa saja yang melatarbelakangi terjadianya perbedaan antara novel dan film AAC yang tidak disebabkan oleh perbedaan sistem sastra dan sistem film?
Berdasarkan hal-hal yang sudah dipaparkan di atas, ditemukan beberapa masalah berkaitan dengan proses ekranisasi novel AAC ke dalam bentuk film. Ada dua masalah mendasar yang bisa dirumuskan untuk selanjutnya dijadikan sebagai batasan dalam tulisan ini. Dua masalah tersebut adalah; pertama, proses ekranisasi novel AAC ke dalam film memungkinkan terjadi banyak perbedaan. Perlu dipaparkan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat proses ekranisasi ini. Kedua, perbedaan yang ada tidak sebatas disebabkan oleh perbedaan sistem sastra dan sistem film, tetapi perbedaan yang disengaja. Perbedaan yang disengaja ini tentu bukan tanpa tujuan, tetapi dengan maksud-maksud tertentu. Masalah yang perlu ditemukan pemecahannya adalah makna perbedaan antara novel dan film AAC ini.
Ekranisasi lebih banyak menekankan adanya perbedaan-perbedaan antara novel dan film disebabkan oleh perbedaan sistem sastra (baca novel) dengan sistem film. Eneste (1991: 60) menjelaskan bahwa alat utama dalam novel adalah kata-kata; segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, alur, penokohan, latar, suasana, dan gaya sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Pemindahan novel ke layar putih, berarti terjadinya perubahan alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Sebab di dalam film, cerita, alur, penokohan, latar, suasana, dan gaya diungkapkan melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan atau diungkapkan dengan kata-kata, kini harus diterjemahkan ke dunia gambar-gambar.
Hal senada juga ditulis oleh Hanung Bramantyo dalam situs pribadinya yang mengatakan novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, penokohan, latar, alur, dan suasana sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Sementara, alat utama film adalah audio visual, suara dan gambar-gambar. Tentu, pemindahan dari novel ke film akan memungkinkan terjadinya banyak perubahan. Teks atau kata-kata mampu membimbing imajinasi secara bebas, sedangkan visual memberikan bentuk ‘nyata’.
Hal yang tidak tidak jauh berbeda juga dijelaskan dalam Bluestone (1956: 14-20) bahwa transformasi dari satu bentuk karya ke bentuk lain bisa dipastikan memang mengalami perubahan karena karya tersebut harus menyesuaikan dengan media yang digunakan, dan masing-masing media memiliki konvensi tersendiri. Antara karya sastra yang tertulis menggunakan media bahasa, dengan film yang menggunakan prinsip optikal berurusan dengan masalah penglihatan dan pendengaran sekaligus (audio visual) memiliki perlakukan berbeda terhadap karya.
Sementara itu, dalam lingkup yang lebih luas lagi transformasi karya yang dinamis ini (dari teks ke film dan dari film ke teks) bernaung dalam adaptasi3, di dalamnya novelisasi film juga menjadi lahan di dalamnya (Pujiati, 2009: 76). Ekranisasi adalah bentuk intertekstual dan resepsi terhadap sebuah karya. Seorang pembaca yang aktif akan melahirkan sebuah karya baru sebagai wujud apresiasi terhadap sebuah karya. Perubahan yang muncul merupakan wujud dari apa yang disebut Jauss sebagai horizon harapan pembaca. Kolker (2002: 128) menyebutkan bahwa intertekstualitas (dalam film) adalah sebuah persepsi beberapa teks dengan mempertimbangkan budaya yang berkembang pada saat itu. Jadi, wajar bila sebuah karya masa lalu muncul kembali dengan wajah masa kini. Ekranisasi dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk interpretasi pembaca yang aktif sehingga melahirkan sebuah karya baru. Berbekal pengetahuan dan latar sosial budaya tertentu, pembuat film dapat melahirkan sebuah karya sebagai wujud perombakan terhadap karya sebelumnya.
Untuk dapat mengungkap makna keseluruhan sebuah karya sastra perlu dianalisis strukturnya. Bahwa setiap penelitian karya sastra, dikatakan oleh Teeuw (1991: 61) dari segi manapun juga, analisis struktur merupakan tugas prioritas, pekerjaan pendahuluan, sebab karya sastra sebagai “dunia dalam kata” (meminjam istilah Dresden, 1965) mempunyai kebulatan makna instrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri.
Teori struktural yang digunakan dalam kajian ini adalah Sturkturalisme Dinamik yang dikembangkan oleh Jan Mukarovsky dan muridnya Felid Vodicka. Strukturalisme Dinamik berusaha mengatasi kelemahan analisis struktural otonom. Analisis berdasar teori strukturalisme otonom tidak membolehkan mencari keterangan di luar stuktur. Oleh karena itu, strukturalisme yang hanya menekankan otonomi karya sastra mempunyai dua kelemahan pokok (Teeuw, 1984: 61), yaitu : (a) melepaskan karya sastra dari relevansi sejarah sastra; (b) mengasingkan karya sastra dari relevansi sosial-budayanya. Atas dasar konsepsi semiotik, untuk dapat memahami karya seni secara sepenuhnya sebagai struktur harus diinsafi ciri khasnya sebagai tanda, sign. Justru tanda itu baru mendapat makna sepenuhnya lewat persepsi seorang pembaca (Teeuw, 1984: 2). Jadi, di sini ada penggabungan strukturalisme dengan semiotik, hal seperti ini juga dikemukakan oleh Umar Junus (1981) bahwa semiotik itu merupakan lanjutan dari strukturalisme. Dengan prinsip bahwa karya sastra merupakan sistem tanda pada semiotik, maka hal ini dapat menunjuk hal-hal di luar struktur. Hal ini disebabkan oleh tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi bahasa, sastra, dan masyarakat.
Di samping itu, dikemukan oleh Riffaterre bahwa karya sastra merupakan response/jawaban terhadap karya sastra-atau lebih luas teks-sebelumnya. Jadi, karya sastra itu terikat pada kerangka waktu dan urutan sejarah sastra. Oleh karena itu, maka karya sastra seringkali baru dapat digali secara lengkap dalam rangka kesejarahan sastra itu. Dalam hal ini, perlulah analisis intertekstual antara dua teks sastra yang menunjukkan adanya hubungan kesejarahan tersebut. Beberapa bentuk karya sastra yang hampir sama atau mirip merupakan hal yang biasa dalam dunia sastra. Pengarang memiliki kebebasan mutlak (dalam batas tertentu) dalam berkarya. Kemiripan satu karya dengan karya sastra yang lain inilah yang menjadi prinsip dasar kajian intertekstual. Menurut Riffaterre, satu karya sastra bisa lahir dari karya sebelumnya yang disebut hipogram (1978: 23). Sebuah karya sastra bisa merupakan variasi dan modifikasi karya sebelumnya. Teks sebelumnya yang menjadi latar penciptaan suatu teks yang kemudian, oleh Riffaterre disebut hipogram (hypogram). Karya sastra merupakan hasil karya sastrawan. Sastrawan adalah anggota masyarakat. Oleh karena itu, ia tidak dapat terlepas dari masyarakat dan kebudayaannya.
Pada dasarnya, ada sebuah perbedaan mendasar antara karya sastra dan film. Karya sastra menggunakan kata-kata sebagai medianya sehingga melahirkan imaji linguistik. Sedangkan film menggunakan gambar sehingga melahirkan imaji visual. Keduanya memiliki sisi estetis tersendiri. Akan sulit juga membandingkan kedua bentuk karya tersebut, mengingat keduanya memiliki karakter yang berbeda (Sumarno, 1996: 48).
Teks sastra (seperti ditulis oleh Istanti, 2008: 24) adalah suatu produk seni yang diciptakan dengan unsur estetika. Suatu teks sastra sebelum terjangkau oleh pembaca masih berupa artefak dan baru berwujud sebagai objek estetik melalui partisipasi aktif pembaca (di antaranya yang terlihat pada bentuk-bentuk kreativitasnya). Seperti yang dikemukakan Wolfgang Iser dalam bukunya The Act of Reading bahwa makna diangkat dari hubungan interaksi pembaca dan teksnya. Text can only come to life when it is read. It must therefor be studied through the eyes of the reader. Lebih lanjut Iser juga menyatakan dalam kutipan di bawah ini.

Central to the reading of every literary work is the interaction between its structure and its recipient. This is why the phenomenological theory of art has emphatically drawn attention to the fact that the study a literary work should concern not only the actual text but also and in equal measure, the actions involved in responding to that text. The text itself simply offers “schematized aspect” [the phrase is Roman Ingarden’s] through which the subject matter of the work can be produced, while the actual production takes place through an act of concretization.(1978: 20 – 21).

Iser menyatakan bahwa pusat dari pembacaan semua karya sastra adalah interaksi antara struktur dan penerimanya. Hal ini mengindikasikan bahwa penerimaan terhadap suatu karya sastra akan berpotensi untuk menyebabkan pemaknaan yang berbeda. Lebih lanjut Iser menyatakan sebab teori fenomenologis sastra mengambil perhatian pada kenyataan bahwa studi karya sastra harus mempertimbangkan bukan hanya teks aktualnya saja tetapi juga tindakan yang terlibat dalam merespon teks itu.
Dilihat dari fisik teksnya, penelitian resepsi dapat dilakukan melalui penelitian intertekstual, proses penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan. Objek studi sastra dalam estetika resepsi adalah penerimaan serta sambutan pembaca atau masyarakat pembaca terhadap teks sastra (Chamamah-Soeratno, 1992).
Teori resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan makna teks sastra (Jauss, 1983:20). Berkaitan tentang resepsi sastra atau cara seorang pembaca menerima dan memahami teks sastra dapat merujuk teori Iser. Iser mengatakan bahwa sebuah teks sastra dapat didefinisikan sebagai wilayah indeterminasi atau wilayah ketidakpastian (indeterminacy areas) (Iser,1987:24; Segers, 1978:40-41). Wilayah ketidakpastian merupakan “bagian-bagian kosong” atau “tempat-tempat terbuka” (leerstellen, open plek) yang “mengharuskan” pembaca untuk mengisinya. Dalam mengisi “tempat-tempat kosong” yang terdapat di dalam karya sastra, pembaca pada hakikatnya masuk dalam suasana yang memungkinkan untuk berdialog dan berkomunikasi dengan teks sastra. Di dalam proses komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan pembaca berinteraksi. Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau melalui teks berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari repertoire (bekal atau bahan yang berupa pengetahuan dan pengalaman pembaca) dengan strateginya sehingga lahirlah realisasi teks (Iser, 1978:20, 107).
Realisasi teks berupa resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari para pembaca karena mereka telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, ada kemungkinan satu karya sastra memperoleh makna yang bermacam-macam dari berbagai kelompok pembaca (Chamamah-Soeratno, 1991:21). Hal itu justru menunjukkan adanya struktur teks sastra yang dinamis, makna karya sastra akan selalu diperkaya dan dapat lebih terungkap, serta nilai sastranya pun dapat ditentukan lebih baik (Pradopo, 1995:  234).
Pemahaman terhadap sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Teeuw (1984: 100) menekankan pentingnya pengetahuan kebudayaan dalam memahami sebuah karya sastra.
Faktor pembaca, dalam poros komunikasi mendapat pengertian yang bermacam-macam. Salah satu di antaranya yang dimanfaatkan di dalam penelitian ini adalah pembaca nyata (real reader). Pembaca ini merupakan pembaca dalam arti fisik, yaitu orang yang melaksanakan tindakan pembacaan. Pembaca dalam kelompok ini meliputi pembaca peneliti dan pembaca umum. Pembaca peneliti dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra seperti yang dipahaminya dan berdiri di dalam proses pembacaan. Sementara itu, pembaca umum dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra dan berdiri di luar proses pembacaan (Sangidu, 2002).
Segers (2000: 41) menyatakan bahwa sebagai sebuah proses komunikasi, hubungan antara teks dan pembaca memerankan dua buah fungsi. Pertama, menandai hubungan skema tekstual. Merupakan tugas pembaca untuk menyusun ikatan yang hilang tidak sekehendak hati berdasarkan ‘pengalaman dan harapan miliknya’, tetapi berdasarkan kesesuaiannya dengan struktur tekstual. Kedua, dunia teks literer diciptakan untuk pembaca dari perspektif yang berubah-ubah. Tugas pembaca untuk menghubungkan perspektif itu agar cocok dengan struktur tekstual.

2. Pembahasan
Perbedaan-perbedaan yang timbul akibat proses ekranisasi novel AAC ke dalam film beserta maknanya dipaparkan secara berurutan pada bagian ini. Perbedaan dalam hal ini tidak saja yang berbeda secara keseluruhan dalam satu adegan misalnya, tetapi perbedaan-perbedaan yang sifatnya berdasar kemunculannya. Misalnya saja ada yang di dalam novel ditampilkan, tetapi di dalam film tidak, begitu juga sebaliknya. Agar memudahkan pengelompokan dan mudah diidentifikasi, dalam hal ini perbedaan dan makna akibat perbedaan itu dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu perbedaan yang tidak sampa berbengaruh pada keseluruhan cerita, dan perbedaan yang memang sengaja dibuat berbeda dengan maksud tertentu.

2.1. Perbedaan Alur Akibat Perbedaan Sistem Novel dan Sistem Film
Sebelum dipaparkan lebih jauh, pengertian perbedaan alur akibat perbedaan sistem novel dan sistem film yang penulis maksud adalah terjadinya perubahan antara novel dan film AAC yang lebih disebabkan kendala teknis. Adanya perbedaan-perbedaan yang tidak sampai mengubah makna keseluruhan, tetapi dalam rangka menyesuaikan dengan sistem film yang berbeda dengan sistem sastra (novel), misalnya saja durasi film yang terbatas sehingga tidak semua yang ada di novel ditampilkan begitu saja (tanpa ada perubahan sama sekali) di dalam film. Selain itu, contoh lain misalnya tokoh yang ada di dalam novel tidak dimunculkan di dalam film karena tidak begitu berpengaruh dalam membangun konflik utama. Meskipun begitu, perubahan-perubahan kecil itu terjadi dalam rangka mendukung maksud utama cerita yang ada di film.
Pada dasarnya, ketika masuk pada adegan utama, antara novel dan film tidak memiliki perbedaan, keduanya sama-sama menceritakan aktivitas Fahri yang akan pergi talaqqi ke Al Azhar. Namun, dalam film sebelum masuk pada adegan pertama, terlebih dulu ada credit title yang menceritakan keakraban antara Fahri dan teman-temannya satu flat dengan Maria. Hal ini bukan tanpa maksud. Awalan film tersebut berfungsi untuk memberi gambaran pada penonton bagaimana sosok Fahri dan Maria. Ini cukup membantu penonton untuk mengikuti cerita selanjutnya. Jadi, apa yang ada di credit title bukan tidak ada di novel, tetapi yang membedakan adalah pemunculannya saja.
Di dalam novel, diceritakan kalau Maria tinggal bersama  Tuan Boutros (ayah),  Madame Nahed (ibu), dan Yousef (adik lelakinya). Namun, di dalam film diceritakan Maria hanya tinggal bersama Madame Nahed saja. Tuan Boutros dan Yousef tidak ditampilkan. Hal ini berdasar kebutuhan cerita, peran Tuan Butrous dan Yousef tidak begitu signifikan, sehingga ketika tidak dimunculkan pun tidak memengaruhi kebutuhan cerita utama. Beberapa adegan serupa ( dalam arti jika diubah tidak begitu berpengaruh dengan konflik utama) antara lain sebagai berikut:
Di dalam novel, Fahri memberi hadiah ulang tahun kepada Madame Nahed sebuah tas tangan dan untuk Yousef sebuah kamus bahasa Perancis. Namun, di dalam film tidak ada adegan pemberian hadiah itu.
Tuan Boutros sekeluarga mengajak Fahri dan teman-teman satu flatnya untuk makan bersama di sebuah restoran mewah, di dalam novel cerita ini muncul di bagian sepuluh (Di Cleopatra Restaurant). Sementara, di dalam film tidak ada adegan makan bersama Tuan Boutros dengan Fahri di restoran tersebut.
Di novel, Noura disiksa oleh Bahadur dan kakaknya ketika Fahri dan teman-temannya sedang bersantap malam di flat saat tengah malam. Sementara, di dalam film Noura disiksa hanya oleh Bahadur ketika Fahri terlihat sibuk sendiri di kamarnya dan bukan sedang santap malam.
Keluarga Boutros mengetahui kalau Noura disiksa oleh Bahadur malam itu dan mengusulkan kepada Fahri bahwa sebaiknya Noura tinggal sementara di rumah orang yang seiman daripada tinggal di rumah mereka karena berbagai alasan. Di dalam film, karena Tuan Boutros sejak awal tidak ditampilkan sehingga adegan tersebut tidak ada
Dalam novel, pada saat Fahri meminta Nurul agar  bersedia menampung Noura di rumahnya, Fahri mengubungi Nurul lewat telepon. Namun, di dalam film, Fahri menemui langsung Nurul untuk meminta hal itu.
Dalam adegan di Metro, di dalam novel ada tiga orang bule yang masuk, yaitu seorang nenek, pemudi, dan pemuda yang memakai topi berbendera Amerika. Namun, di film hanya dua orang bule yang masuk, yaitu seorang wanita muda dan seorang ibu-ibu, yaitu ibu wanita muda tersebut. Wanita tersebut kemudian diketahui bernama Alicia. Ada perbedaan lagi antara di novel dan di film dalam adegan di metro ini yaitu perihal nama wartawati Amerika yang dikenal Fahri di Metro. Di dalam film, seperti terlihat pada kartu nama Alicia yang diberikan pada Fahri, wartawati itu bernama Alicia Brown, padahal di dalam novel nama wartawati Amerika itu adalah Alicia Abrams. Namun, secara esensi cerita masih sama. Adegan ini masih bisa mengemban misi penting dari dalam novel yaitu untuk menunjukkan wajah Islam yang ramah yang dalam hal ini diwakilkan melalui tokoh Fahri dan Aisha.
Di dalam novel, Noura tidak mau bercerita masalah yang menimpanya kepada Maria dan Fahri saat dia ditampung. Namun, di dalam film Noura mau bercerita secara terbuka masalah yang menimpanya kepada Maria dan Fahri saat dia ditampung.
Di dalam novel, ada adegan yang menceritakan bahwa Fahri sakit parah karena terlalu sering kepanasan. Cerita ini terdapat dalam bagian empat belas (Dijenguk Sahabat Nabi). Namun, di dalam film tidak ada adegan Fahri sedang sakit.
Saat mengaji dengan Syaikh Ustman, Fahri ditawari syaikh untuk berjodoh dengan keponakannya dengan memperlihatkan foto-foto calon istri yang ditawarkan agar Fahri dapat mengenalnya. Di dalam film, Syaikh Ustman tidak terlihat melakukan itu dan Fahri langsung datang begitu saja ke perjodohan, yaitu di rumah paman Aisha.
Di dalam novel, diceritakan Fahri menikah di sebuah masjid. Selain secara penggambaran dapat dibayangkan pernikahan Fahri cukup sederhana, ada juga sajian nasyid untuk memeriahkan suasana. Namun, di film Fahri menikah di flat Aisha dengan penggambaran suasana yang meriah dan terkesan mewah. Fahri mengucapkan ijab kabul di tengah-tengah kolam di dalam rumah yang megah.
Setelah menikah, Aisha dan Fahri pindah di flat mewah Aisha. Di film, Fahri diceritakan langsung tinggal di flat Aisha dan tidak ada adegan pindah rumah.
Di dalam novel, Aisha sempat ingin diperkosa oleh polisi Mesir. Di dalam film tidak ada adegan percobaan perkosaan itu.
Di dalam novel, Maria jatuh pingsan saat memberikan kesaksian di pengadilan. Sementara, di dalam film tidak ada adegan Maria jatuh pingsan.

2.2 Perbedaan Alur untuk Mengubah Tema Utama Novel
Ada dua hal yang menjadi perhatian dalam menentukan perbedaan-perbedaan antara novel dan film AAC yang bertujuan untuk mengubah tema utama. Pertama, perbedaan dengan mengubah apa yang ada di novel dengan yang dimunculkan di film. Dalam arti, adegan itu sudah ada di novel, tetapi tetap dimunculkan di dalam film dengan beberapa perubahan, bisa pengurangan, bisa juga dengan penambahan, bahkan dihilangkan, peneliti mengstilahkan perubahan adegan. Kedua, perbedaan dengan cara menambahkan adegan yang sebelumnya sama sekali tidak ada di dalam novel, tetapi dibuat adegan baru di dalam film dengan maksud untuk mengubah tema utama yang ada di novel. Untuk itu, penyajian laporan penelitian ini dikelompokkan menjadi dua hal tersebut.

2.2.1 Perbedaan Alur dengan Perubahan Adegan
Di dalam novel, sejak mengetahui Fahri menikahi Aisha, Maria sakit hati dan langsung jatuh sakit. Namun, di dalam film menikahnya Fahri dengan Aisha memang sempat membuat Maria sakit hati dan kecewa, tetapi tidak mengakibatkan Maria jatuh sakit. Sakit yang dialami Maria justru karena ditabrak mobil, yang kemudian diketahui bahwa yang menabrak Maria adalah orang suruhan Tuan Bahadur. Hal ini bertujuan untuk membuat konflik saat di persidangan, supaya unsur dramatiknya terlihat. Reaksi penonton tentu akan berbeda jika sakit Maria karena kecelakaan dan akibat ulah dari Tuan Bahadur.
Menjelang akhir hayatnya, Maria meminta Fahri untuk mengajarkannya berwudhu karena dia bermimpi bahwa dia tidak dapat masuk surga kalau tidak berwudhu dan tidak mendapatkan kunci surga, sementara kunci surga yang dimaksudkan adalah dengan masuk Islam. Di dalam film, menjelang akhir hayatnya, Maria meminta Fahri untuk mengajarkannya shalat dan dia tidak diceritakan bermimpi. Selain itu, Maria tidak saja meminta tolong pada Fahri, tetapi juga dengan Aisha.
Di dalam novel, Fahri baru mengetahui bahwa Nurul ternyata juga mya jauh sebelum dia menikahi Aisha. Sementara, di dalam film Fahri mengetahui bahwa Nurul ternyata juga menyukainya justru sesudah dia menikahi Aisha.
Diceritakan di novel bahwa teman satu sel Fahri di penjara berjumlah lima orang. Di dalam film teman satu sel Fahri hanya satu orang. Secara detail perbedaan ini dibahas dalam hal penokohan.
Di dalam novel, buku harian Maria diserahkan oleh Madame Nahed kepada Fahri. Di film, buku harian Maria diserahkan oleh Madame Nahed kepada Aisha, dan baru Aisha yang menyerahkannya pada Fahri saat di penjara.
Madame Nahed dan Yousef yang meminta Fahri agar merekam suaranya untuk diperdengarkan dengan Maria. Sangat berbeda dengan di dalam film, karena di film Aisha yang meminta Fahri agar merekam suaranya untuk diperdengarkan dengan Maria.
Tuan Boutros dan Madame Nahed yang mengajukan izin kepada kepala penjara agar membolehkan Fahri untuk menjenguk Maria di rumah sakit. Di film, Aisha yang mengajukan izin kepada kepala penjara agar membolehkan Fahri untuk menjenguk Maria di rumah sakit dengan bantuan pengacara.
Seorang penembak burung  hantu yang sebelumnya memberikan kesaksian palsu akhirnya mengakui kebohongannya saat di persidangan Fahri. Sementara di dalam film, penembak burung hantu yang menjadi saksi tidak mengakui kebohongannya.
Pada adegan delapan puluh tiga, diceritakan bagaimana Aisha meminta Fahri untuk menikahi Maria. Saat Aisha melihat Maria bereaksi ketika mendengar suara Fahri, Aisha kemudian mendekati Fahri, berbisik pada Fahri agar Fahri mengatakan pada Maria bahwa Fahri akan menikahinya. Fahri menggeleng tanda tidak sepakat dengan usul Aisha. Lalu, buru-buru Aisha mengajak Fahri untuk keluar kamar. Di depan kamar, mereka berdebat sebentar. Fahri mengatakan pada Aisha bahwa poligami tidak semudah itu, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Fahri hanya sekali mengucap janji pernikahan dan itu hanya dengan Aisha. Namun, dengan berurai air mata Aisha mengatakan bahwa Maria sangat membutuhkan Fahri dan bayi yang ada di kandungan Aisha membutuhkan seorang ayah. Menikahi Maria adalah satu-satunya jalan supaya Maria bisa sembuh dan kemudian bisa menjadi saksi di pengadilan sehingga Fahri bisa terbebas dari hukuman.
Fahri dalam posisi sulit. Dalam kebingungan itu, perlahan Aisha mengambil cincin yang ada di jarinya, cincin itu pun kemudian diserahkan pada Fahri sebagai mahar pernikahannya dengan Maria. Fahri pun tidak bisa berbuat apa-apa, dia menuruti permintaan istrinya tersebut. Maka, adegan setelahnya adalah gambaran pernikahan antara Fahri dan Maria yang berlangsung di rumah sakit. Aisha tidak bisa membohongi perasaannya, dia tetap merasakan kesedihan ketika melihat suaminya menikah lagi. Aisha pun keluar kamar rumah sakit dan menumpahkan tangisnya. Madame Nahed mengikuti Aisha, ia sangat memahami bagaimana perasaan Aisha.
Adegan ini memang ada di dalam novel, tetapi tidak dijadikan konsentrasi cerita utama, sementara di dalam film bisa dikatakan sebagai adegan yang banyak menguras konsentrasi penonton. Adegan ini mengindikasikan bahwa poligami itu boleh dilakukan, bahkan dalam pusaran kasus yang dihadapi Aisha dan Fahri, poligami adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah. Aisha meminta Fahri untuk menikahi Maria supaya Maria cepat sembuh dan bisa menjadi saksi di persidangan, sehingga Fahri bisa terbebas dari hukuman. Apa yang dilakukan Aisha sudah sepatutnya dilakukan oleh wanita manapun ketika dalam posisi semacam itu. Dalam hati tentu tidak rela melihat suaminya menikah lagi dengan wanita lain, tetapi jika tidak menikah lagi, berarti suami akan mati di tiang gantungan. Begitulah, film ini ingin menggambarkan bahwa poligami dalam situasi tertentu adalah solusi permasalahan, meskipun akan timbul masalah lain setelahnya.

2.2.2 Perbedaan Alur dengan Menambahkan Adegan
Penambahan adegan sangat dirasakan di akhir-akhir cerita di dalam film. Penambahan cerita inilah yang menyebabkan perbedaan makna secara keseluruhan antara novel dan film AAC. Penambahan-penambahan adegan tersebut dipaparkan secara berurutan di bawah ini.
Di dalam novel, usai memberi kesaksian di penjara Maria jatuh pingsan dan menyebabkan Maria sakit hingga akhirnya meninggal. Namun, di dalam film usai memberi kesaksian di persidangan, Maria masih tetap sehat dan akhirnya bisa hidup satu rumah dengan Fahri dan Aisha. Setelah itu, banyak adegan-adegan baru yang muncul yang sama sekali tidak ada di dalam novel. Adegan-adegan baru ini bermaksud untuk memberi gambaran bagaimana kondisi kehidupan rumah tangga yang berpoligami. Secara umum, adegan-adegan tersebut ingin menggambarkan bahwa poligami memang bisa dilakukan, tetapi konsekuensinya tidak ringan. Bahkan, sekelas Fahri dan Aisha yang bisa dikatakan memiliki pemahaman keislaman yang baik pun tetap merasa berat menjalaninya, hal ini terbukti dengan adegan-adegan berikut ini.
Pada adegan delapan puluh delapan diperlihatkan kumpulan peristiwa yang dialami Fahri, Aisha, dan Maria ketika mereka hidup dalam satu rumah. Pada saat mereka bertiga makan bersama ataupun aktivitas yang lain. Adegan ini ingin menggambarkan bagaimana Aisha merasa cemburu manakala Fahri dan Maria berdekatan, begitu juga sebaliknya; Maria merasa cemburu saat Fahri dan Aisha juga berdekatan. Dalam adegan ini juga dapat dilihat bagaimana kebingungan Fahri memiliki dua istri, misalnya saja saat Maria dan Aisha dalam waktu bersamaan memiliki satu keinginan tertentu pada Fahri. Diperlihatkan juga pada satu malam akhirnya mereka tidur sendiri di tiga tempat yang berlainan. Selanjutnya, diceritakan Aisha seperti berada dalam tekanan menghadapi kondisi tersebut, terlebih saat itu Aisha tengah hamil.
Pada adegan sembilan puluh, diceritakan Fahri dan Saiful bertemu di sebuah rumah makan. Fahri menceritakan apa yang tengah dia rasakan ketika mempunyai dua istri pada Saiful. Fahri mengaku capek menghadapinya. Fahri ingin menyatukan Maria dan Aisha. Sebagai sahabat, Saiful beusaha memberi saran, meski dia sendiri belum mempunyai istri. Saiful mengatakan kepada Fahri, bahwa Fahri tidak mungkin menyatukan Aisha dan Maria, tetapi Fahri harus berusaha adil. Meskipun Saiful menyadari bahwa untuk bersikap adil itu sangat sulit. Jangankan dua istri, satu istri saja belum tentu bisa adil. Saiful juga menambahkan agar Fahri menyerahkan semua masalahnya pada Alloh. Adegan ini ingin menunjukkan bahwa Fahri merasa berat menjalani kehidupan poligaminya.
Begitu juga di dalam adegan delapan puluh sembilan. Diceritakan Aisha mengemasi beberapa pakaiannya dan dimasukkan ke dalam koper. Fahri terlihat terkejut melihat Aisha hendak pergi dengan membawa koper besar. Saat ditanya Fahri hendak pergi ke mana, Aisha menjawab akan pergi ziarah ke makam ibunya di Turki bersama Paman Eqbal. Fahri heran, mengapa dengan Paman Eqbal, bukan dengan dirinya. Lalu, Aisha pun menjawab kalau Fahri harus menjaga Maria. Dengan mata sembab, Aisha pun mengatakan kalau dirinya sedang ingin sendiri.
Sementara itu, Maria yang tidak sengaja mendengar pembicaraan antara Fahri dan Aisha dari dalam kamarnya terlihat begitu bersedih. Sebagai seorang perempuan, Maria dapat merasakan apa yang dialami Aisha. Adegan ini ingin menunjukkan bahwa Aisha juga berat menjalani kehidupan berpoligami.
Penggambaran kekurangharmonisan keluarga Fahri dengan dua istri semakin terlihat pada dua adegan selanjutnya, yaitu dari adegan sembilan puluh satu hingga adegan sembilan puluh dua. Dalam adegan sembilan puluh satu, digambarkan Fahri berusaha mencari ketenangan agar bisa membuat keputusan yang bijaksana untuk keluarganya.
Fahri digambarkan menenangkan diri di sebuah padang pasir, kemudian pergi ke dalam sebuah masjid. Saat Fahri menenangkan diri di sebuah masjid, Fahri mendengar seorang syaikh tengah memberi nasihat dalam sebuah majelis dzikir. Fahri merasa terhenyak, karena apa yang disampaikan syaikh itu tepat sekali dengan permasalahan yang sedang dia hadapi saat itu.
Selanjutnya, dari sisi Maria, digambarkan pada adegan sembilan puluh dua. Dalam adegan itu tampak Maria duduk di depan beranda rumahnya. Maria menunggu kedatangan Fahri. Tangannya memegang HP dan raut mukanya menunjukkan kegundahan.
Kegundahan antara Fahri, Aisha, dan Maria terlihat diakhiri di dalam adegan sembilan puluh tiga. Aisha berada di rumah paman Eqbal. Setelah Aisha menyampaikan keinginannya agar Eqbal menemaninya ke Turki, Eqbal sedikit ragu. Aisha menambahkan kalau dia membutuhkan waktu untuk dapat memahami semua yang ada dalam rumah tangganya. Bersamaan itu, tiba-tiba Fahri muncul. Fahri mengatakan bahwa dia berusaha ikhlas menerima Aisha dan Maria. Fahri masih dalam proses belajar untuk memahami dan berbuat adil. Fahri menekankan pada Aisha, kalau dia butuh Aisha untuk mempelajari semua itu. Berikut kutipan dialog yang diucapkan Fahri saat menemui Aisha di rumah Paman Eqbal:

Iklhas Aisha...
Itu yang sekarang sedang berusaha aku jalani.
Aku tidak ikhlas menerimamu lebih kaya dari aku.
Aku tidak ikhlas menerima kondisi kita dengan Maria.
Hingga aku tidak tahu adil itu apa dan bagaimana.
Aku akan belajar lagi.
Tapi, untuk itu aku butuh kamu.

Dengan wajah haru, Aisha menghampiri Fahri dan mencium takdzim tangan suaminya itu. Adegan ini mengakhiri polemik yang terjadi di dalam rumah tangga Fahri, Aisha dan Maria. Masing-masing tokoh pada akhirnya bisa menerima kondisi di dalam rumah tangga mereka bertiga. Aisha dan Fahri kembali ke rumah, disambut hangat oleh Maria. Dengan disaksikan Fahri, Maria dan Aisha saling berpelukan.

2.3 Penokohan Novel dan Film AAC

(1) Aisha Binti Rudolf Greimas
Saat pertemuan dengan Fahri di Metro, di novel diceritakan Aisha memakai cadar putih, sementara di dalam film Aisha memakai cadar hitam (cadar warna ini lebih dominan digunakan untuk seluruh adegan di film). Tentu, penata busana dalam film bukan berarti tidak mampu untuk menyediakan pakaian dengan warna seperti yang diceritakan di dalam novel, tetapi ini untuk kepentingan artistik film. Dalam film AAC memang mempunyai keseragaman warna jika dicermati secara teliti, baik dari segi setting, property, dan busana, warna-warna selalu diupayakan untuk senada, cenderung gelap dan merah bata.
Perbedaan yang muncul dalam film adalah pada saat Aisha menghadapi berbagai persoalan. Dalam novel Aisha adalah tipikal perempuan yang lembut, patuh pada suami, dan taat pada aturan agama. Gambaran singkatnya, Aisha adalah dambaan banyak kaum adam: selain kaya, cantik, dia juga salehah. Sementara, di dalam film Aisha dibuat lebih manusiawi. Dia bisa membantah kata-kata Fahri jika memang ada sesuatu di dalam hatinya yang mengganjal. Hal ini dapat dilihat pada adegan saat Fahri kedatangan paman dan bibi Nurul. Aisha menunjukkan rasa cemburunya dan berkata ketus pada Fahri. Di dalam novel, setelah menikah dengan Fahri, Aisha tidak pernah terlihat cemburu kepada Fahri. Di dalam film, Aisha gampang cemburu  kepada Fahri. Di dalam novel, tidak ada cerita komputer lama Fahri dijual oleh Aisha. Di film, Aisha menjual komputer Fahri tanpa sepengetahuan Fahri dan menggantinya dengan laptop. Mengetahui hal itu, Fahri sempat berdebat dengan Aisha yang mengindikasikan Fahri kurang setuju dengan apa yang dilakukan Aisha karena komputer itu banyak menyimpan kenangan Fahri dengan teman-temannya, termasuk dengan Maria. Saat menyebut nama Maria, Aisha merasa tidak suka. Aisha terlihat cemburu.
Juga ketika Fahri ditangkap polisi karena dituduh memerkosa Noura, ada kesan Aisha tidak percaya pada Fahri dan merasa emosional ketika Aisha merasa tidak ada yang membantunya mengeluarkan Fahri dari penjara (adegan ketika Aisha mencari sesuatu di flat Saiful).
Pada adegan lain, Aisha juga terlihat lemah dan lebih memilih lari dari permasalahan yang sedang dihadapi. Hal ini tidak terlihat di dalam novel, sementara, di dalam film hal ini sangat ditonjolkan. Salah satunya terlihat saat Aisha ingin pergi ziarah ke makam ibunya di Turki.
Perubahan karakter Aisha di dalam film ini memiliki tujuan untuk lebih memanusiawikan tokoh Aisha sehingga tidak begitu asing dengan dunia penonton film. Aisha bukan dijadikan seorang istri yang membangkang, tetapi apa yang ditampilkan di dalam film adalah sosok Aisha yang tetap memiliki sisi-sisi manusiawi yang punya rasa cemburu atau ganjalan dalam hati jika apa yang dialami tidak sesuai dengan keinginan hati. Tentu penggambaran ini akan lebih masuk akal dan bisa lebih diterima oleh masyarakat penonton film yang lebih plural.

(2) Fahri Bin Abdullah Sidiq
Secara garis besar, penggambaran tokoh Fahri di dalam novel maupun di dalam film tidak banyak mengalami perubahan. Namun, jika dicermati dengan jeli, ada titik-titik kecil yang tetap dibuat berbeda. Secara umum, Fahri sangat gigih memegang aturan agama dalam hidupnya. Dalam menghadapi persoalan hidup, selalu dia serahkan kepada Allah, dia kembalikan dengan aturan-aturan yang memang sudah termaktub dalam kitab suci dan hadits nabi. Berbeda dengan yang ada di novel, Fahri dalam film digambarkan sebagai sosok yang tetap mempunyai sisi-sisi manusiawi saat menghadapi permasalahan dalam hidupnya. Dia juga dapat merasakan kecemasan, bahkan keputus-asaan. Hal ini dapat dilihat pada adegan saat dia di penjara.
Selain itu, dalam novel digambarkan Fahri adalah sosok yang dewasa di mata teman-teman satu flatnya. Namun, dalam film hal itu tidak begitu terlihat, bahkan Fahri terkesan lemah dan kadang kurang dewasa dibanding Saiful. Beberapa adegan dalam film menggambarkan Fahri lebih sering mencurahkan masalahnya pada Saiful dan meminta saran pada Saiful.
Dari segi pergaulan dengan perempuan, di dalam novel, digambarkan Fahri sangat taat pada syariat yang mengatur tentang hubungan dengan lawan jenis. Secara umum, di dalam film juga tetap sama, misalnya saja saat bertemu dengan Alicia (Wartawati yang bertemu saat di atas metro), Fahri tidak bersedia berjabat tangah dengan perempuan yang bukan mahromnya itu. Dengan bijak Fahri menjelaskan alasannya untuk tidak mau berjabat tangan. Namun, di dalam film ada beberapa adegan yang menunjukkan perbedaann dengan yang ada di dalam novel.
Di dalam novel, diceritakan Fahri tidak terbiasa jalan berdua dengan Maria, bahkan tidak ada. Namun, di dalam film ada beberapa adegan yang menunjukkan Fahri sering jalan berdua dengan Maria sebelum mereka berdua menikah. Bahkan, tidak sekadar jalan berdua, tetapi ngobrol bersama di tempat yang sepi. Hal ini terlihat di beberapa scene dalam credit title dan juga adegan delapan. Dalam adegan itu, Fahri dan Maria berbincang soal jodoh sambil menikmati  Sungai Nil, hanya berdua saja.
Penggambaran sosok Fahri di dalam film bukan tanpa tujuan. Hampir sama dengan yang terjadi pada Aisha, di dalam film Fahri dibuat lebih manusiawi, bukan sosok super hero yang tanpa cela, tujuannya sama, membuat Fahri lebih manusiawi dan dekat dengan kehidupan para penonton film.
Film ini seolah ingin memperbaiki apa yang selama ini sering dikritik para pembaca novel, yaitu sosok Fahri yang nyaris sempurna, bahkan ada yang mengatakan kalau dalam kehidupan nyata, sosok Fahri yang ada di dalam novel itu tidak pernah ada. Maka, di dalam film dibuat dengan tujuan tersebut: membuat Fahri lebih dekat dengan dunia nyata, salah satunya adalah dalam hal pergaulan dengan perempuan, yaitu dengan Maria, meskipun tidak sampai pada tahap saling berjabat tangan atau hal-hal lain lebih dari itu. Dalam Film, Fahri teta; digambarkan sebagai sosok yang santun dan sangat menghargai perempuan.

(3) Saiful
Dari beberapa orang teman flat Fahri, porsi Saiful memang yang lebih banyak diceritakan. Saiful bukan cuma teman satu flat dengan Fahri, tetapi Saiful juga teman Fahri berbagi cerita semua kisah hidupnya dan berbagi pengalaman. Dari sisi usia dan pengalaman hidup, dalam novel digambarkan Saiful lebih muda daripada Fahri. Namun, dalam film terlihat sejajar. Tidak terlihat jenjang senioritas dan yunioritas. Bahkan, di dalam Film Saiful lebih tampak dewasa dibanding Fahri. Saiful selalu menjadi tempat curhat Fahri, dalam beberapa adegan Fahri juga selalu meminta saran dari Saiful.
Perbedaan penggambaran tokoh Saiful dalam film dengan yang ada di novel ini tentu bukan tanpa maksud. Kebutuhan cerita yang ada di film memang memungkinkan Fahri untuk memiliki satu teman yang lebih dekat untuk berbagi cerita tentang masalah yang dihadapi Fahri. Dengan digambarkan Fahri sering berbagi cerita pada sahabat dekatnya, maka akan terlihat karakter Fahri di dalam film yang lebih manusiawi. Lalu, tokoh yang dibuat sebagai teman dekat Fahri adalah Saiful. Jadi, bisa dikatakan perubahan penggambaran tokoh Saiful adalah dalam rangka untuk menunjang perubahan penggambaran tokoh Fahri.

(4) Maria Girgis
Maria adalah satu-satunya tokoh utama yang tidak mengalami perubahan yang berarti antara di dalam novel maupun film, baik dari segi karakter maupun visualisasi secara fisik. Dalam film, Maria tetap termasuk tokoh utama. Masuk dalam jalinan cerita, awalnya karena merupakan tetangga flat Fahri dan teman-temannya. Berawal dari sekadar tetangga, lambat laun menumbuhkan benih cinta, dan pusaran cerita mengalir di sana. Maria adalah seorang gadis Mesir asli. Seorang Kristen Koptik yang taat. Dia adalah putri sulung dari Tuan Boutross Rafael Girgis. Namun, dalam film ayah Maria ini sama sekali tidak dimunculkan. Ibunya seorang dokter, Fahri biasa memanggil Madame Nahed.
Bagi Fahri, Maria adalah gadis yang unik. Meskipun Maria seorang Kristen, tetapi dia hafal beberapa surat dalam Al qur’an. Salah satunya adalah surat Maryam. Maria juga lebih senang dipanggil Maryam. Maria pengagum Al Qur’an dan paham adab membaca Al Qur’an. Secara fisik, Maria juga cantik, dalam berpakaian juga sopan. Dalam jalinan cerita, terlihat kalau Maria adalah seorang gadis yang ceria dan cerdas. Ia kuliah di Cairo University, Mesir. Meskipun cantik dan cerdas, Maria adalah tipikal gadis yang tidak mudah jatuh cinta, dan Fahri sanggup meluluhkan hati Maria.
Secara umum, tidak ada yang berubah pada penggambaran karekter Maria. Hal ini memang disebabkan oleh karakter Maria yang memang dekat dengan kehidupan nyata. Tokoh seperti Maria sangat berbeda dengan Fahri dan Aisha yang barangkali jarang ditemui di kehidupan nyata. Justru, karakter Maria semakin diperjelas di film karena dapat mendukung makna keseluruhan cerita. Hubungan Fahri beserta teman-temannya dengan Maria dan keluarganya adalah sebuah potret kerukunan hidup antaragama yang patut untuk ditonjolkan di dalam film.

(5) Nurul Azkiya
Secara garis besar, tokoh Nurul tidak terlalu mengalami perubahan antara novel dan di dalam film. Sedikit yang berbeda, jika di dalam novel begitu ditampakkan antara Nurul dan Fahri terdapat hubungan cinta yang saling terpendam, tetapi di dalam film hal itu tidak terlihat. Yang terlihat di film justru Nurul terkesan sebagai gadis yang agresif. Hal ini memang kurang sinkron dengan statusnya sebagai seorang ketua keputrian organisasi mahasiswi Indonesia yang ada di Mesir.
Dari sisi visualisasi, dalam film tidak begitu terlihat sosok Nurul sebagai seorang mahasiswi yang sholihah dengan berbusana serba panjang dan lebar, seperti dideskripsikan di dalam novel. Di dalam film, hal ini kurang konsisten, beberapa adegan terlihat Nurul memakai jilbab kecil/pendek. Bahkan, pada adegan dia sedang kecewa karena mengetahui Fahri telah menikah dengan Aisha, Nurul terlihat begitu terpukul bahkan sampai melepas jilbabnya dengan kesal, meskipun di dalam kamarnya sendiri.
Perubahan yang terjadi pada tokoh Nurul bisa dikatakan tidak terlalu banyak. Sedikit perbedaan yang ada di film adalah dalam rangka menampilkan sosok Nurul yang lebih manusiawi, punya sisi-sisi perasaaan sebagai seorang wanita yang bisa kecewa dan sakit hati. Dari segi penampilan fisik, barangkali ini kekurangjelian sutradara atau penata busana, bahwa pada kehidupan nyata sebenarnya seorang yang berbusana mulimah secara kaffah4 biasanya juga selalu konsisten, dan berkaitan dengan tokoh Nurul, pada kepentingan cerita seharusnya juga konsisten, tetapi kenyataannya di beberapa adegan terlihat Nurul memakai jilbab kecil. Kalaupun dengan maksud untuk lebih mendekatkan dengan kehidupan nyata seperti yang terjadi pada tokoh Fahri dan Aisha hal ini kurang tepat karena tidak secara langsung mengubah penampilan Nurul secara keseluruhan, misalnya di dalam film Nurul selalu tampil dengan jilbab kecil, tentu akan lain ceritanya.

(6) Prof. Dr. Abdur Rauf Manshour dengan Pemuda di Penjara
Di dalam novel tokoh ini adalah teman satu sel Fahri ketika dalam penjara. Dia adalah guru besar di Universitas El-Menya yang dihukum karena memimpin sebuah demonstrasi di dalam kampus. Prof. Abdur Rauf inilah yang selalu menguatkan mental Fahri, memberi nasihat, dan berbagi pengalaman dengan Fahri selama berada di dalam penjara. Namun, ternyata tokoh ini tidak dimunculkan di dalam film dan diganti dengan karakter lain. Tokoh pengganti Prof. Abdur Rauf adalah seorang laki-laki berpakaian kumal dan terkesan gila. Meskipun sekilas terlihat sebagai seorang yang gila, tetapi ternyata laki-laki yang tidak disebutkan siapa namanya ini mempunyai pemikiran yang cerdas dan memiliki kejernihan hati nurani. Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang penuh perenungan dan sarat makna.
Jika dicermati, pemunculan adegan ini di dalam novel sebenarnya dalam rangka untuk memberi penyadaran kepada Fahri sekaligus untuk menguatkan Fahri saat menghadapi cobaan. Barangkali, jika tetap menampilkan sosok Prof. Dr. Abdur Rauf Manshour maka kondisi di dalam film akan membosankan dan kurang unsur dramatik, maka diganti dengan tokoh laki-laki yang imajinatif. Laki-laki itu digambarkan sebagai sosok yang liar, berpenampilan seperti berandal, tetapi berhati bersih dan kata-katanya tegas. Seringkali, kata-kata dari pemuda ini terdengar menyindir Fahri.
Hal tersebut menurut peneliti mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk mendapatkan adegan yang tidak membosankan, yaitu adegan yang di film terkesan lebih teatrikal. Akan berbeda jika apa yang ada di dalam novel ditampilkan begitu saja (tanpa memberi sentuhan unsur teatrikal) ke dalam film tanpa perubahan. Kedua, sosok yang tampil di dalam film digambarkan seperti orang gila dan liar, ini ingin menunjukkan betapa menderitanya kondisi para tahanan di penjara Mesir. Jadi, apa yang dialami Fahri adalah penggambaran sebuah penderitaan yang sangat menyedihkan. Gambar berikut ini adalah sosok pemuda teman Fahri saat di dalam sel.

3. Simpulan
Perbedaan antara novel dan film AAC disebabkan oleh beberapa hal. Ada yang disebabkan oleh perbedaan antara sistem sastra dan sistem film. Perbedaan sistem sastra dan sistem film ini secara logis berakibat pada perubahan dari novel ke dalam bentuk film karena yang ada di dalam novel tidak bisa begitu saja (tanpa ada perubahan atau penyesuaian) diterjemahkan ke dalam film. Sistem sastra (novel AAC) yang berupa kata-kata dan sistem film yang berupa audio visual (suara dan gambar) tentu dua hal yang berbeda, selain itu film juga dibatasi durasi sehingga sangat tidak mungkin semua yang ada di dalam novel dimasukkan begitu saja (tanpa ada perubahan atau penyesuaian) ke dalam film. Dalam hal ini, unsur alur dan penokohan adalah dua hal yang paling dominan mengalami perubahan.
Penyebab yang ke dua terjadinya perubahan antara alur dan penokohan di dalam novel dan di dalam film disebabkan oleh keinginan dari tim produksi film dengan beberapa tujuan. Ada unsur alur dan penokohan di dalam novel yang diubah saat ditransformasikan ke dalam film yang bukan terkendala teknis (perbedaan sistem sastra dan sistem film) seperti sudah disebutkan di paragraf sebelumnya. Namun, perubahan di sini memang dengan tujuan, bukan tanpa maksud. Beberapa tujuan yang dapat peneliti tafsirkan antara lain dijabarkan berikut ini:
Hal yang menjadi alasan perubahan antara novel dan film AAC adalah dari segi kebutuhan pemasaran. Jika kondisi yang ada di dalam novel ditampilkan begitu saja tanpa ada penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi pasar barangkali akan membatasi segmentasi penonton. Film ini diproduksi dengan biaya besar, jika ingin kembali modal atau meraup untung banyak, film ini haruslah ditonton oleh banyak orang. Sementara, jika memproduksi film AAC persis dengan yang ada di novel, ada kemungkinan kurang bisa menjangkau banyak kalangan. Oleh karena itu, beberapa perubahan seperti penampilan fisik dan karakter tokoh-tokohnya adalah agar tetap bisa diterima oleh penonton dengan jangkauan yang lebih luas. Sebagai contoh riil adalah perubahan karakter tokoh-tokoh utama dalam novel yang dibuat lebih manusiawi ketika difilmkan. Strategi ini ditempuh supaya masyarakat dengan beragam latar belakang budaya bisa menikmati film ini dengan mudah. Dengan membuat karakter tokoh-tokoh lebih manusiawi tentu akan lebih dekat dengan kehidupan nyata. Misalnya saja tokoh Fahri dan Aisha yang ketika ditampilkan di dalam film adalah sosok yang tetap mempunyai kelemahan, padahal jika di novel kedua tokoh ini digambarkan nyaris sempurna.
Hal lain yang dapat penulis simpulkan berdasarkan fakta yang ada setelah mencermati novel dan film AAC adalah perubahan yang bersifat akumulasi dari perubahan-perubahan sebelumnya. Maksudnya adalah perubahan selain yang disebabkan oleh perbedaan sistem sastra dan sistem film, perubahan karena penyesesuain dengan kendala teknis, dan perubahan karena tuntutan kebutuhan penonton, yang paling kelihatan perubahan dalam rangka mengetengahkan tema utama yang diusung di dalam film. Dalam novel, tema poligami tidak menjadi fokus utama cerita karena memang saat Fahri menikahi Maria, tidak lama setelah itu Maria meninggal, dan cerita pun selesai. Cerita di dalam novel lebih fokus bagaimana perjuangan seorang mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Mesir berikut liku-liku perjalanan asmaranya. Namun, di dalam film banyak penambahan adegan yang pada akhirnya membelokkan tema utama di dalam novel tersebut, yaitu menjadi isu poligami.
Tema utama yang sangat mudah ditangkap dalam film adalah poligami. Jika film AAC dilihat tanpa sebelumnya membaca novel, tentu para penonton tidak sadar bahwa sebenarnya apa yang ada di film sungguh jauh berbeda dengan yang ada di novel, bahkan pada tataran tema utama. Ketika para prnonton film hanya melihat film AAC, maka yang tergambar dalam benak adalah bagaimana liku-liku kehidupan rumah tangga yang berpoligami. Hal ini pada akhirnya membuat masyarakat yang sebelumnya sudah membaca novel AAC kemudian melihat filmnya dengan mudah mengatakan bahwa filmnya kurang bagus. Alasan mereka mengatakan kurang bagus karena menggunakan parameter ketidaksamaan antara film dengan novel. Padahal, membandingkan antara novel dan film adalah sebuah langkah yang kurang penting karena keduanya karya yang saling berbeda dan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri.
Tim produksi film meresepsi novel AAC dengan bekal dan pengalaman mereka, sehingga jadilah film AAC yang lebih fokus pada tema poligami. Di dalam novel, setelah Maria dinikahi Fahri, tidak begitu lama Maria meninggal dunia, dan cerita pun berakhir di bagian itu. Namun, di dalam film Maria masih hidup lebih lama dan tinggal satu rumah dengan Fahri dan Aisha. Maria meninggal setelah cukup lama ada penggambaran kehidupan poligami antara Fahri, Maria, dan Aisha.
Berdasar fakta tersebut, yang dapat peneliti tangkap adalah bahwa film ini memiliki misi sebagai konfirmasi objektif terhadap isu poligami yang saat itu tengah hangat dibicarakan masyarakat luas. Film AAC menjadi semacam konfirmasi pada masyarakat luas tentang poligami. Di dalam film AAC, poligami itu diperbolehkan, bahkan pada satu saat tertentu menjadi solusi atas sebuah permasalahan. Hal ini terlihat pada pusaran cerita yang dialami Aisha antara harus merelakan suaminya menikah dengan wanita lain ataukah suaminya harus mati di tiang gantungan karena difitnah memerkosa orang lain. Pada titik ini, poligami adalah jalan penyelesaian sebuah masalah yang pada posisi seperti Aisha bisa saja orang lain melakukan hal tersebut. Namun, film ini juga ingin menyampaikan bahwa konsekuensi logis dari orang-orang yang berpoligami itu tidaklah ringan. Tidak sembarang orang bisa melakukannya karena risikonya yang tidak mudah untuk dijalani. Sosok seperti Fahri dan Aisha yang dari segi pemahaman ke-Islaman cukup bagus ternyata tetap mempunyai sisi manusiawi yang tetap berat menjalani kehidupan berpoligami ini. Hal ini terbukti pada banyaknya adegan yang menggambarkan bagaimana kondisi Fahri dan Aisha yang merasa berat dengan kondisi rumah tangganya yang berpoligami. Rumah tangga Fahri tidak lama diredam gejolak karena setelah melakukan refleksi, masing-masing menyadari tentang konsekuensi poligami yang mereka pilih. Kehidupan rumah tangga Fahri, Aisha, dan Maria digambarkan berakhir bahagia setelah mereka melewati masa-masa sulit. Namun, kondisi itu pun tidak berlangsung lama karena di akhir cerita Maria diceritakan meninggal dunia, sehingga Fahri pun bahagia dengan satu istri yaitu Aisha.
Maksud yang ketiga adalah konfirmasi pada dunia luas bahwa Islam adalah agama yang mencintai perdamaian dan tidak seperti yang dituduhkan selama ini oleh dunia barat. Konfirmasi ini ditunjukkan melalui tokoh Fahri dan Aisha, terlihat saat adegan di dalam metro. Dalam adegan itu, diperlihatkan bagaimana ada seorang muslim yang begitu antipati terhadap orang nonmuslim, tetapi Fahri tampil menjadi penengah dan meluruskan isu tersebut. Dalam hal ini, melalui film AAC, tim produksi film mempunyai kesempatan untuk menyampaikan bahwa Islam adalah agama yang mencintai perdamaian dan menghargai perbedaan. Begitu juga kerukunan hidup yang diperlihatkan antara Fahri dan teman-temannya dengan keluarga Maria yang berbeda agama dengan Fahri menggambarkan bahwa Islam juga bisa hidup damai dengan agama lain. Untuk maksud yang terakhir ini adalah salah satu maksud yang ada di dalam novel yang tetap diakomodasi di dalam film.


DAFTAR PUSTAKA
 

Bluestone, George. 1956. Novel into Film. Berkeley Los Angeles, London: University of California Press.

Bramantyo, Hanung. 2007. Film Ayat Ayat Cinta. Jakarta: MD Pictures (VCD).

Brilyantini. “Gelegar Ayat Ayat Cinta” dalam Tabloid Nova. No. 1047/XXI, 17-23 Maret 2008. Jakarta: Gramedia Group.

Chamamah Soeratno, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai Pustaka.
____________________.1992. “Penelitian Resepsi Sastra dan Problematikannya”. Makalah disampaikan pada seminar, Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta.

El Shirazy, Habiburrahman. 2005. Ayat Ayat Cinta. Jakarta: Penerbit Republika, dan Semarang: Penerbit Pesantren Karya Basmala.

Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Penerbit Nusa Indah.

Iser, Woflgang.1978. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response.. London: The Johns Hopkins University Press.

Istanti, Kun Zahrun. 2008. Sambutan Hikayat Amir Hamzah dalam Sejarah Melayu, Hikayat Umar Umayah, dan Serat Menak. Yogyakarta: Seksi Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aestetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Junus, Umar. 1984. Sejarah Melayu Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Fajar Bakti.

Kolker, Robert Phillip. 2002. Film, Form, and Culture. New York: McGraw-Hill Education.

Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pujiati, Hat. 2009. “Cerita Cinta Tentang Dia; Transformasi Ideologis dari Cerpen ke Film Kajian Ekranisasi.” Yogyakarta: Jurnal Bulak volume 4

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Indiana University Press.

Sangidu, 2000. “Karya Syaikh Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri: Kajian Filologis dan Analisis Resepsi.” Yogyakarta: Jurnal Humaniora Volume XIV

Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra (terjemahan Suminto A. Sayuti). Yogyakarta: Adicita.

Sumarno, Marselli. (1996). Dasar Dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Venayaksa, Firman. 2005. “Keterpengaruhan Novel dan Film”. Jakarta: Majalah Mata Baca.

http://www.hanungbramantyo.multiply.com. “Novel dan Film.” Diunduh pada tanggal 22 September 2008, pukul 06.34. WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar